Beberapa hari yang lalu seorang teman mengirimkan sebuah link pada wall akun jejaring sosial milikku. Ada rasa malas untuk membuka link yang diberi judul #PrayForSumbawa itu. Entahlah, setahuku tanah-tanah disana selalu tumbuh subur, begitupun dengan padang ilalangnya, sabana tempat para kuda berlarian pun masih sangat baik, terawat, Hutan penghasil madu yang sangat terkenal hingga ke segala penjuru dunia itu pun masih sangat asri, Lantas apa masalahnya?
Aku coba kembali berfikir, apa yang sebenarnya terjadi? Apa mungkin ada hubungannya dengan cuaca buruk beberapa hari belakangan ini? tsunami?, banjir? Ataukah Tambora yang telah sekian ratus tahun tertidur setelah mengamuk terakhir kali tahun 1815? sungguh itu semua membuatku penasaran. Apalagi setelah kucoba menghubungi teman – teman disana, orangtua dirumah, tak ada jawaban. Rasa penasaranku kembali memuncak. Ahh.. ponsel lakban ini juga tak bisa membantuku.
Atau mungkin PT. RAKSASA itu kembali berulah? Aargh..
Dan, tidak salah juga tidak benar, melalui PC yang kusewa ini kubukalah link berjudul #PrayForSumbawa itu. Bukannya ucapan selamat datang yang kuterima. Melainkan setelah kuketahui ternyata itu adalah link gerakan aksi sosial untuk korban banjir bandang di NTB.
Berikut petikan kalimat di halaman mukanya : “ Kepedulian anda pulihkan sumbawa dan NTB. Cuaca sedang tidak bersahabat beberapa hari belakangan ini. Hujan deras yang disertai angin kencang menerjang wilayah kabupaten Sumbawa. Banyak pohon tumbang dan banjirpun merebak disejumlah daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Setidaknya tercatat ribuan rumah terendam banjir. Pelabuhan dan dermaga penyeberangan ditutup sementara waktu “
Banjir bandaaang!!!
Kupaksakan memori otakku bekerja untuk kembali mengingat kejadian yang sama 10 tahun lalu. Saat hujan angin tak henti – hentinya membasahi dan meniupi serta menfkhawatirkan seluruh penduduk desa. Saat anak – anak belasan tahun riang gembira bermandikan hujan, bercanda ria dengan teman sebayanya dengan masih menggunakan seragam batik khas hari kamis. Hingga pada siang hari, sungai yang kurang lebih hanya berjarak 2km dari rumah gubukku itu serasa menerjang tanggul dengan deras, semua orang berlarian menuju suara itu. Orang – orang yang memang tinggal disekitar haluan sungai mulai beramai – ramai mengungsikan barang – barangnya. Ada yang membantu ada juga yang hanya sekedar menonton. Banjir yang cukup untuk meluluhlantakkan sebuah perkampungan di sebuah desa kecil.
Dan kini banjir itu datang lagi. Tapi, apa mungkin sebuah tungku bisa berasap tanpa adanya api? Mulai ku kaji, kucari lagi informasi tentang awal letak kobaran api sebab akibat itu.
Cuaca ? Tropical Cyclone Warning Centre, informasi dari si pemantau cuaca memang dikabarkan hujan deras disertai angin kencang dengan kecepatan angin maksimum mencapai 30 knots atau 55 km/jam dalam beberapa hari kedepan. Ya.. cuaca memang menjadi biangnya. Tapi pantaskah aku menyalahkan hujan? Sementara hujan atau air sangat dibutuhkan oleh petani disana, setidaknya untuk menyirami lahan mereka yang kering dan untuk hal – hal lainnya.
Si PT. RAKSASA?
Muak rasanya jika mengingat – ingat itu, perusahaan raksasa hasil kapitalis yang pada awal tahun lalu memasuki pulauku, negeriku.. ya negeriku. Negeri Intan Bulaeng - Pulau Emas - itulah julukannya. Raksasa yang telah membabat habis isi negeriku bagian Barat dan serasa tak ada puasnya kini ia mulai menghabisi bagian Selatannya. Dengan segala kekuatan yang dipunya, tanpa ampun ia mengeruk setiap jengkal tanah yang diyakini seyakin – yakinnya memiliki emas, emas intan bulaeng – emas paling berkilau diantara jenis emas yang ada -, ahh.. sialan kau!
Meninggalkan konflik dimana – mana, konflik antara rakyat dengan rakyat, si penerima recehan dan si pembela lahan padi. Si idealis dan si pragmatis. Meraup untung sebanyak – banyaknya dan lari meninggalkan lubang besar. Royalty, CSR, itulah yang diributkan. Seberapa pentingnya itu jika harus diganti dengan banjir? Dengan sempitnya petakan sawah penghasil padi? Ingatkah mereka dengan limbah – limbah berupa kotoran buangan yang bercampur bahan – bahan kimia lalu ditumpahkan ke laut kami yang tenang dan indah itu. Tempat bapak – bapak kami mencari ikan dan tempat kami bermain.
Meminjam perkataan Bung Mada Gandhi, yang kami minta hanyalah kembalikan persaudaraan yang selama ini kami junjung tinggi. Bukanlah rupiah atau dollar, jika itu hanya membawa kesengsaraan dan membuat kami saling memusuhi, saling menghasut dan menghajar. Kami hanya ingin hidup tenang seperti dulu kala. Kami rindu suara telapak kaki kuda yang berlarian di sabana, atau aroma madu yang dihasilkan lebah – lebah dari hutan kami yang perawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar