MarasOnline_Saudaraku Indonesia …
Kami tulis surat ini di tengah gemuruh mesin-mesin besar yang membongkar gunung dan menerjang bebatuan dan apa saja yang dilaluinya. Mereka terus mengeruk dan membuat lobang-lobang raksasa menukik jauh ke dasar bumi. Newmont mencari dan mengambil emas tembaga dan lain-lain.
Saudaraku ..!
Sesuatu yang tak kami pahami setelah membaca risalah yang ditulis oleh Bupati yang menuntut keadilan ke Mahkamah Konstritusi, menyebutkan tidak kurang dari Rp 13 Triliun kekayaan di perut gunung-gunung kami dikeruk oleh perusahan itu berupa lumpur (baca: konsentrat) yang di dalamnya terkadung banyak emas, tembaga dan lain-lain, lalu dibawa ke negeri lain entah di mana. Kapal-kapal besar yang hilir mudik mengangkut matarial-material dari hutan-hutan kami yang digali.
Tahukah Saudaraku, berapa yang kami dapatkan? hanya Rp 72 miliar yang terdiri dari pajak (Pph perorangan) Rp12 miliar yang dipotong dari gaji karyawan NNT dan dana bagi hasil/royalti Rp 60 miliar. Sementara pajak badan (PPh Badan) yang berjumlah kurang lebih Rp 4 triliun/tahun diambil oleh pemerintah pusat. Pemerintah kami pun mengalami kesulitan membiayai roda pemerintahan.
Di wilayah yang konon kaya emas dan mineral itu sungguh ironis, saudara kami penerima beras miskin (raskin) sangat besar. Total keluarga pra sejahtera termasuk 3 Kecamatan di kawasan lingkar tambang dan non lingkar seluruhnya tercatat 5645 KK atau 19,46 % dari jumlah total KK di sana. (sumber BPM Sumbawa Barat).
Membandingkan yang kami peroleh dengan hasil yang mereka ambil maka perlu waktu 200 tahun mengumpulkan yang namanya royalti/bagi hasil, barulah sama dengan kekayaan alam yang terkuras dalam satu tahun. Padahal kami harus menanggung menurunnya kualitas lingkungan, baik itu lingkungan alam, lingkungan sosial, budaya, dan lain-lain.
Bayangkanlah Saudaraku tidak kurang 150 ribu ton setiap hari atau 52 juta ton setahun limbah, berupa kotoran buangan yang becampur bahan-bahan kimia lalu ditumpahkan ke Teluk Senunu yang tenang dan indah itu. Tempat kami mencari ikan dan anak-anak kami bermain. Perlu diingat, Kontrak Karya (KK) perusahaan itu berdurasi 30 tahun. Masa produksi baru berjalan 11 tahun.
Menurut kabar perusahaan yang memiliki mesin-mesin besar yang galak dan menakjubkan itu punya pihak Asing yang menguasai 80 % saham perusahaan sebelum ada program divestasi/ penawaran saham dua tahun terakhir. Itupun belum selesai karena banyak kepentingan dan banyak pihak saling “sandera”.
Posisi tawar kami daerah penghasil sangatlah lemah. Untuk mendapatkan saham yang ditawarkan, kami harus mengeluarkan uang seperti juga investor lain. Dari mana uang kami? Pihak swasta datang meminjamkan dan kami harus mencicil dengan pola kepemilikan yang sangat menyesakkan dada.
Ada juga harapan keadilan pada UU No 4 tahun 2009 tentang Minerba. Sayang UU itu tidak dapat efektif berlaku bagi perusahaan-perusahaan besar seperti Freeport dan Newmont Nusa Tenggara yang menganut Kontrak Karya. Siapa yang berani melawan kepentingan asing?
Newmont tentu bekerja berdasarkan KKyang ditanda tangani 1986 yang bersumber dari UU Pertambangan Tahun 1967. Inilah “kitab suci” yang mengizinkan gunung-gunung di lobangi dan hutan-hutan tempat hidupnya lebah penghasil madu ditebang, dan banyak kuda Sumbawa kehilangan sabana hingga ribuan hektar.
Rupiah dan dolar telah merubah presepsi masyarakat tentang hubungan sesama. Betapa sulit kini mencari masyarakat yang mau begotong royong. Semuanya diukur dengan uang. Kami menjadi lebih beringas, gampang marah, saling mencurigai. Sungguh telah hilang sifat dan watak yang diturunkan nenek moyang kami.
Posisi perusahaan NNT dalam bingkai yang telah dibangun selama ini sangatlah nyaman. Untuk setiap sosialiasi kegiatan mereka menggunakan birokrasi, anggota eksekutif dan legeslatif lokal. Anggota dewan itu masuk keluar kampung untuk menjelaskan rencana kegiatan perusahaan kepada masyarakat. Bukankah mereka tugasnya pembuat peraturan dan UU?
Pun jika terjadi konflik di lapangan akibat gagalnya perangkat perusahaan menjalin pendekatan dan berkomunikasi dengan masyarakat maka yang akan dihadap-hadapkan adalah aparat keamanan dengan rakyat. Hujan pentungan batu dan suara tembakan adalah penyelesaian masalah terbaik yang dipilih. Kami menjadi tontonan saudara se indonesia bagai suku yang beringas. Padahal ketahuilah itu bukanlah sifat dan watak kami yang sesungguhnya.
Kami tidak boleh ribut apalagi anarkisme, itu mengganggu iklim investasi kata para pejabat. Tetapi adakah yang mau membuka mata atas ketidak adilan dan kemiskinan kami?. Adakah yang mau toleransi atas gemuruh mesin-mesin besar yang terus mengebor dan mengeruk hutan-hutan kami. Tahukah mereka bahwa daerah kami salah satu penyuplai TKI yang cukup besar karena tidak tersedia lapangan kerja? Bahkan untuk menjadi buruh kasar pun kami harus demo dan saling pukul dan lempar dengan pihak keamanan.
Tadinya kami berharap pada Pers dan LSM menjadi benteng terakhir tegaknya moralitas dan kesadaran bersama. Masihkah dapat diharapkan?. Sungguh kami sangat mengkuatirkan terbunuhnya semua harapan. Lalu kemana lagi kami harus mengadu?
Dalam kelelahan hati yang amat sangat ini, yang kami minta hanyalah kembalikan budaya dan persaudaraan itu. Bukanlah rupiah atau dolar, jika itu hanya membawa kesengsaraan dan membuat kami saling memusuhi, saling menghasut dan menghajar. Kami hanya ingin hidup tenang tentram seperti dulu kala. Kami rindu suara telapak kaki kuda yang berlarian di Sabana, atau aroma madu yang dihasilkan lebah-lebah dari hutan kami yang perawan. Mengapa itu begitu sulit sekarang??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar