Tulisan ini saya buat ditengah riak riuhnya pro-kontra kehadiran perusahaan tambang di tanah Intan Bulaeng secara subyektif mahasiswa yang merasakan langsung effeck dari kehadirannya dan juga sebagai bentuk protes kepada pemerintah daerah disana yang walaupun hari ini sudah berada diatas, namun persaingan politik masih saja sangat kental. Kamu dari mana? Kamu orang-orangnya siapa? ahh.. pertanyaan yang sungguh sangat dibuat penting seakan akan rivalitas masih saja berlangsung hingga setelah terpilih sekalipun.
Ooh Nyumon, siapakah dirimu sebenarnya? disaat ayahku sudah tak lagi mendengar, sudah tak lagi melihat, disaat aku mulai merasa dibedakan antara yang lain kau hadir dengan sejuta kasih sayang, segudang rasa cinta, memberiku seribu alasan untuk kembali berjalan.
Memang, disatu sisi aku mengutukmu, kau yang akan menguras habis isi bumiku,kau yang akan membawa terik dibumiku, dan kaupun yang akan merampas kehidupanku, masa depanku, hingga kelak, anak-anak kupun akan selalu terancam dan terus akan merasa hidup dibawah ancaman dunia yang kau bentuk semaumu.
sementara itu, disatu sisi aku membutuhkanmu, aku membutuhkanmu untuk menjadi nadi di kehidupanku, aku membutuhkanmu agar aku selalu merasa dihargai oleh teman-temanku yang lain..ya, inilah saat-saat yang sangat berat, seakan-akan aku memang sudah tak punya hati,
Pantaskah aku menyalahkan Tuhan?
Siapakah ayahku sesungguhnya? kenapa ia meng-anaktirikanku? atau ini hanya perasaan kosong ku saja?
Siapakah engkau sebenarnya? Engkau hadir bak malaikat, juga IBLIS!
Saya serasa bergetar setelah membaca sepotong kalimat yang ditulis oleh M. Mada Ghandi dalam -Surat Terbuka Dari Sumbawa Barat Untuk Indonesia- (http://oriiemuhammad.blogspot.com/2011/11/surat-terbuka-dari-sumbawa-barat-untuk.html) seorang jurnalis dari tanah Sumbawa, Beginilah kira-kira isinya..Yang kami minta hanyalah kembalikan budaya dan persaudaraan itu. Bukanlah rupiah atau dolar, jika itu hanya membawa kesengsaraan dan membuat kami saling memusuhi, saling menghasut dan menghajar. Kami hanya ingin hidup tenang tentram seperti dulu kala. Kami rindu suara telapak kaki kuda yang berlarian di Sabana, atau aroma madu yang dihasilkan lebah-lebah dari hutan kami yang perawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar